tentang aku dia dan takdir yang tak kunjung pulang

Pencipta: Sofyan kanza 
Prolog: Tentang Aku, Dia, dan Takdir yang Tak Kunjung Pulang Ada kisah yang lahir bukan dari pertemuan biasa, tapi dari serangkaian takdir yang diam-diam menyulam jarak menjadi dekat, dan keasingan menjadi hangat. Kisah ini bukan tentang cinta pada pandangan pertama, bukan pula tentang dua insan yang langsung tahu ke mana harus berlabuh. Tapi ini kisah tentang rasa—yang tumbuh perlahan seperti embun di pagi hari, nyaris tak terlihat tapi terasa, nyaris tak diakui tapi nyatanya tak pernah menghilang. Aku bertemu dengannya bukan karena aku mencarinya, tapi semesta seperti sengaja menaruhnya di depan langkahku. Ia tak banyak bicara, bahkan sering bersembunyi di balik diam dan dinding kamarnya. Tapi entah kenapa, ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatku ingin tinggal. Bukan karena ia istimewa dalam sorotan orang-orang, melainkan karena dalam ketidakbiasaannya, aku melihat diriku sendiri—seseorang yang tak sempurna, tapi ingin dimengerti. Hari-hari bersamanya adalah hari-hari di mana aku mulai memahami makna kehadiran. Aku terbiasa kehilangan, terbiasa berdiri sendiri, bahkan terbiasa menyimpan rindu dalam dada yang tak pernah sanggup berteriak. Tapi sejak ia hadir, aku tahu rasanya pulang—bukan ke rumah, tapi ke seseorang. Kami tidak pernah benar-benar memberi nama hubungan kami. Tidak ada perayaan, tidak ada pengakuan, hanya komitmen diam-diam yang saling menjaga hati dan mata. Tapi bukankah yang tanpa nama kadang justru yang paling jujur? Tidak dibebani ekspektasi, tidak dituntut kesempurnaan, hanya cukup untuk membuat kita terus bertahan dan percaya. Aku menyayanginya. Aku ingin menua bersamanya. Tapi takdir seringkali memiliki rencana yang tak sejalan dengan doa-doa yang kita panjatkan. Aku dan dia kini berjalan di jalan yang berbeda. Tak ada lagi malam-malam panjang dengan suara di balik layar, tak ada lagi pelukan diam-diam di sudut rumahnya, tak ada lagi kehadiran yang dulu menghangatkan hari-hariku. Namun kisah ini tetap hidup. Bukan untuk mengungkit, bukan untuk berharap kembali. Tapi untuk mengenang… bahwa aku pernah dicintai, dan mencintai. Bahwa dalam hidup yang serba tak pasti ini, aku pernah punya satu bab yang tak akan pernah aku sesali. Inilah kisahku. Tentang seorang laki-laki yang mencoba menjadi sandaran bagi perempuan yang diam-diam butuh dipeluk dunia. Tentang Regina—yang kupanggil "Bodo"—yang pernah jadi rumah paling tenang dalam hati yang nyaris runtuh. Dan kini, sebelum kau membuka lembaran bab pertama, izinkan aku berbisik pada takdir: Aku sudah merawat kisah ini sebaik mungkin. Tolong, jangan lupakan kami begitu saja. 

Bab 1 – Awal yang Tak Direncanakan

 Namaku Sofyan Kanza. Saat itu aku masih menjadi pelatih silat di perguruan Pagar Nusa. Di antara banyaknya siswa yang aku latih, ada satu anak yang paling menonjol—bukan karena kemampuan tekniknya, tapi karena sikapnya yang sopan dan loyal padaku. Namanya Aji. Aji bukan sekadar murid bagiku. Lambat laun, hubungan kami seperti kakak dan adik. Ia sering mengajak ngobrol, curhat, bahkan beberapa kali aku datang langsung ke sekolahnya, MTs Al-Amin, hanya untuk melihat kondisi latihan di sana. Di tempat itulah, tanpa pernah kuduga, aku bertemu dengan seseorang yang perlahan menjadi pusat semestaku. Awalnya, bukan dia yang menarik perhatianku. Ada seorang cewek bernama Serli—kakak kelas Aji—yang pertama kali berkenalan denganku lewat media sosial. Kata Aji, Serli ini baik, sopan, dan mirip seseorang dari masa laluku. Aurel, nama mantanku yang sudah tiada. Entah kenapa, melihat Serli seakan menghidupkan kembali kenangan tentang Aurel yang selalu lembut dan tenang. Kami mulai bertukar pesan. Hanya sebatas obrolan ringan, lelucon, dan sesekali cerita soal kegiatan masing-masing. Aku tidak berpikir jauh waktu itu. Tapi hubungan virtual ini cukup membuatku penasaran. Sampai suatu hari, seseorang bernama Faik mengirim permintaan pertemanan. Dari caranya mengobrol, aku tahu dia cukup akrab dengan Serli. Ternyata mereka sahabat dekat. Dan di sinilah letak kebodohanku dimulai. Aku tidak hanya dekat dengan Serli, tapi juga mulai nyaman ngobrol dengan Faik. Tanpa sadar, aku mulai memberi perhatian pada dua orang sekaligus. Dan lebih gilanya lagi, baik Serli maupun Faik menunjukkan ketertarikan yang sama terhadapku. Mereka tidak tahu... bahwa orang yang mereka sukai, orang yang sedang mereka perjuangkan... adalah orang yang sama: aku. Awal mula semua ini tampak seperti permainan lucu. Tapi takdir ternyata sedang menyembunyikan satu nama lain yang jauh lebih penting dari mereka berdua. Namanya... Bodo. Panggilan yang begitu akrab di hatiku, bahkan jauh lebih dalam daripada sekadar nama. Tapi sebelum kisahku dan Bodo dimulai, dunia seolah ingin memberiku pelajaran: bahwa cinta terkadang hadir di saat yang tak tepat, dalam bentuk yang membingungkan, dan dari arah yang tidak pernah kita rencanakan. 

Bab 2 — Awal dari Semua Salah Paham

 Seiring berjalannya waktu, hubungan pertemanan di antara kami semakin terasa seperti jalinan benang yang kusut—rapat tapi rawan terurai. Dari Serli dan Faik, aku tahu ternyata mereka bukan hanya sekadar teman, tapi bagian dari satu lingkaran sahabat bernama Fifasruwi—Faik, Firoh, Serli, Rukiya, dan Bodo. Ya, Bodo. Nama itu belum begitu akrab di benakku saat itu, tapi waktu punya caranya sendiri untuk mengenalkan kita pada siapa yang akan mengubah segalanya. Serli dan Faik ternyata sering membicarakan aku dalam obrolan mereka, entah dalam nada pujian atau hanya sekadar candaan yang berkembang jadi rasa suka. Ironisnya, mereka tak menyadari kalau sosok yang mereka kagumi adalah satu orang yang sama—aku. Dan aku? Bodohnya, aku menjalin komunikasi dengan keduanya tanpa tahu bahwa aku sedang berdiri di tengah api kecil yang bisa saja meledak kapan saja. Hingga akhirnya, semuanya pecah. Saat kebenaran itu terungkap, aku ajak mereka bertemu. Kami duduk bertiga—aku, Faik, dan Serli. Di sana aku berkata jujur, bahwa aku tak ingin jadi alasan retaknya persahabatan mereka. "Lebih baik kita berteman saja tanpa perasaan," kataku saat itu. Keputusan yang mungkin benar, tapi tetap menyakitkan. Aku lihat mereka menunduk, menangis diam-diam, terluka oleh kejujuran yang terlalu telat disampaikan. Beberapa minggu setelah kejadian itu, Aji—murid yang sudah seperti adikku sendiri—kuberi amanah untuk membuka tempat latihan baru. Tapi aku tak tahu pasti di mana dia membuka tempat itu. Hidup pun berjalan seperti biasa, sampai suatu malam aku menerima pesan dari nomor tak dikenal. "P. Heh, kamu suka mainin hati perempuan, ya?" Aku terdiam beberapa detik membaca pesan itu. Jantungku berdegup tak karuan. Nada ketus, tuduhan sembarangan, dan dari orang asing pula. Siapa dia? "Siapa kamu?!" Balasanku cepat, tanpa pikir panjang. "Regina." Jawaban yang tiba-tiba itu seperti memukul keras dadaku. Nama itu terdengar asing, tapi jelas. Dan aku sadar, dia adalah bagian dari Fifasruwi. Seketika emosiku naik. Siapa dia, berani-beraninya menuduhku seperti itu? Belum sempat aku mencerna lebih jauh, pesan kedua masuk: "Kamu itu ya... yang suka nyakitin wanita, kan? Ngasih harapan terus pergi!" Aku mengernyit. Detik itu juga darahku mendidih. Aku langsung mengetik panjang lebar. Nada marah. Emosi tak tertahan. "Kamu siapa, sih? Enak banget nyerocos seenaknya! Kamu bahkan gak kenal aku, tiba-tiba nuduh kayak gitu? Kamu denger dari siapa emangnya?! Gak kenal, gak paham, main tuduh! Enak banget hidup kamu ya, asal ngomong tanpa mikir! Gak semua yang kamu dengar itu bener, tahu?!" Aku kirim pesan itu dengan tangan gemetar karena emosi. Rasanya seperti ditampar oleh seseorang yang belum pernah sekalipun menatap mataku. Kemarahan itu sebenarnya bukan cuma karena tuduhan... tapi juga karena rasa kecewa. Kenapa orang asing bisa sedekat itu dengan luka yang bahkan belum sembuh? Tapi entah kenapa, setelah itu... aku justru jadi penasaran. Siapa sebenarnya Regina—atau lebih tepatnya, Bodo—yang bisa membuatku meledak hanya dengan beberapa kata? Mungkin begitulah awal dari sesuatu yang besar—dari emosi yang tak bisa dijelaskan, dari pertemuan yang tidak biasa, dari tuduhan yang menyakitkan... yang kelak berubah menjadi cerita yang bahkan tak sanggup aku lupakan. 

Bab 3 — Dari Maki Jadi Rindu 

Awalnya, aku dan cewek itu—Bodo, begitu akhirnya aku tahu namanya—nggak pernah benar-benar akur. Setiap kali kami bertukar pesan, selalu ada nada tinggi, makian, atau sindiran yang seolah tak pernah habis. Saling menyudutkan, saling menyakiti lewat kalimat-kalimat pendek yang diketik dengan emosi. Rasanya aneh. Kami belum saling kenal, belum pernah bertemu langsung, bahkan sekadar tahu rumahnya saja pun tidak. Tapi entah kenapa, kami bisa saling menyindir seperti dua musuh lama yang belum sempat berdamai. Tapi waktu memang aneh. Perlahan, obrolan kasar itu mulai berubah arah. Awalnya hanya jeda yang tidak lagi terlalu cepat diisi makian. Lalu pelan-pelan berubah menjadi tanya, "Udah makan, belum?" atau sekadar, "Lagi ngapain?" Awalnya aku ragu, tapi perasaan itu tumbuh dengan sendirinya. Dan yang lebih aneh lagi, ketika dia tidak mengirim pesan, aku merasa kosong. Seolah ada ruang dalam malamku yang tidak lagi terisi. Biasanya kami saling mengirim kemarahan sebelum tidur, kini aku malah menanti-nanti sebuah "ping" dari notifikasi WhatsApp. Dari yang awalnya hanya ingin memaki balik, aku mulai bertanya hal-hal sepele: "Kamu udah makan belum?" "Lagi di mana?" "Capek nggak hari ini?" Perubahan itu tidak tiba-tiba. Tapi sangat terasa. Tanpa kusadari, aku mulai berada dalam dunianya. Dunia yang awalnya penuh bentakan, berubah jadi dunia tempat aku merasa tenang. Nyaman. Bahkan ketika kami tidak membicarakan apa-apa. Kadang, cinta datang bukan karena kelembutan di awal, tapi karena kita terbiasa hadir di ruang satu sama lain. Meski awalnya lewat kata-kata paling menyakitkan. 

Bab 4 — Dari Foto ke Pintu Rumahnya

 Seiring berjalannya waktu, perlahan tapi pasti, aku semakin dekat dengan perempuan itu—Regina. Sosok yang awalnya hanya kukenal lewat percakapan pedas, kini menjadi bayang-bayang yang memenuhi malam-malamku. Namanya mulai melekat dalam pikiranku. Dalam banyak hal yang tak kusadari, aku mulai menunggu-nunggu notifikasi dari WhatsApp, berharap ada namanya muncul di layar ponsel. Obrolan kami memang masih kerap diwarnai pertengkaran kecil, tapi entah bagaimana, aku mulai menikmatinya. Setiap adu argumen, setiap sindiran, perlahan berubah menjadi perhatian yang canggung, namun hangat. Satu malam, dalam percakapan yang lebih tenang dari biasanya, aku bertanya pada Aji, muridku yang kini juga mulai belajar jadi pelatih. “Dek, kamu tau nggak Regina itu siapa sebenarnya?” Aji menoleh ringan, seakan pertanyaanku bukan hal besar. “Itu, kakakku sendiri, Kang. Bukannya dulu pernah saya tawarkan ke sampean? Tapi waktu itu saya sebutnya ‘Dwi’.” Aku terdiam. Pikiranku menggali ingatan yang sempat terkubur. Ya, aku ingat sekarang—beberapa waktu lalu, Aji pernah menyebut seorang perempuan bernama Dwi, dan katanya dia ingin mengenalkanku dengan dia. Tapi waktu itu, aku belum tertarik. Dan kini, tanpa sadar, perempuan yang membuatku mengurungkan banyak malam hanya untuk membalas chatnya... adalah Dwi itu sendiri. Badria Dwi Regina. Kenyataan itu membuatku diam agak lama. Seolah takdir sedang menyusun ulang kepingan cerita ini satu per satu. Dan kebetulan itu belum selesai. Beberapa hari kemudian, Aji mengabari kalau dia sudah mulai membuka tempat latihan silatnya sendiri. Aku tentu bangga—tapi lebih dari itu, aku kaget ketika tahu lokasi tempat latihannya tepat di depan rumah Regina. Rasanya seperti dunia bersekongkol untuk mempertemukan kami lebih dekat lagi. Sore itu, aku datang ke tempat latihan Aji. Jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Bukan karena latihan, tapi karena kemungkinan melihat wajahnya secara langsung. Bukan lewat foto Facebook. Bukan hanya bayangan. Tapi nyata. Sesampainya di sana, aku melihat rumah itu. Pintu terbuka. Suasana sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan selain angin sore yang mengayunkan gorden jendela. Aku kirim pesan padanya. “Kamu di rumah?” Balasannya datang tak lama kemudian. “Iya. Tapi... aku malu buat keluar.” Aku senyum kecil, getir dan harap bercampur. Selesai latihan, aku memberanikan diri melangkah masuk ke rumah itu. Bukan karena sombong. Bukan karena gegabah. Tapi karena dorongan yang sulit dijelaskan. Aku ingin mengenalnya lebih dekat, setidaknya melihat sekeliling tempat ia tinggal, mencari jejak-jejak kehidupannya yang selama ini hanya kudengar dari balik layar chat. Yang menyambutku justru bukan dia, tapi neneknya. Seorang wanita tua dengan sorot mata hangat dan senyum yang seolah telah mengenalku sejak lama. “Mas Sofyan ya? Duduk dulu, Nak.” Aku duduk di ruang tamu yang sederhana namun penuh kehangatan. Neneknya membuatkan kopi. Bukan sekadar suguhan, tapi seperti bentuk penerimaan. Kehangatan di luar nalar. Seolah aku adalah bagian dari rumah itu. Kami berbincang banyak. Tentang silat. Tentang hidupku yang tak pernah benar-benar lurus jalannya. Tentang masa kecilku. Tentang kenakalan dan luka yang pernah mengisi hari-hariku. Dan nenek itu mendengarkan dengan sabar, dengan pandangan teduh yang entah kenapa membuatku ingin terus bercerita. Sesekali aku menanyakan Regina, dan beliau menjawab dengan pelan, seakan memahami betapa aku sedang menyimpan sesuatu yang belum bisa kuungkapkan langsung pada cucunya. Dan Regina... tetap tak keluar dari kamarnya hari itu. Dia tetap diam, mungkin malu, mungkin bingung. Tapi anehnya, aku tidak kecewa. Karena di antara aroma kopi, suara jam dinding yang berdetak lambat, dan kehangatan dari seorang nenek yang baru kukenal, aku merasa... sudah cukup dekat. Aku merasa telah melangkah lebih dalam ke dunianya—walau ia masih bersembunyi di balik pintu. Malam harinya, aku pulang dengan perasaan yang sulit didefinisikan. Ada lega, ada rindu yang belum selesai, ada harapan yang menggantung. Tapi di atas semua itu, ada kesadaran bahwa ini bukan lagi tentang permainan kata atau balas-balasan chat. Ini mulai menjadi sesuatu yang nyata. Yang tumbuh diam-diam, dalam cara paling sederhana: keinginan untuk mengenal, menerima, dan mendekap kenyataan. Dari sekadar makian, kini aku menunggu sapaan darinya. Dan dari sekadar nama, kini Regina menjadi seseorang yang ingin sekali aku jaga. 

Bab 5 — Senyum yang Akhirnya Nyata

 Seiring waktu berjalan, kedekatanku dengan Regina semakin erat. Meski masih samar, aku mulai merasakan getaran yang berbeda dari caranya menyapaku. Kadang-kadang, dengan nada bercanda, aku bertanya, “Hari ini ada laki-laki yang nemenin kamu, nggak?” Pertanyaan sederhana itu sering kujadikan alasan untuk mengintip isi hatinya, walau tak pernah kujawab jujur kepada diriku sendiri—bahwa aku mulai berharap agar jawabannya selalu “nggak.” Regina pun perlahan menunjukkan kenyamanan. Ia mulai lebih terbuka. Candanya tidak lagi sekaku dulu, dan nadanya tak lagi seperti penuh curiga. Mungkin, diam-diam ia juga menikmati percakapan-percakapan kami yang semakin hangat malam demi malam. Saat itu aku memang sering melatih silat, dan tempat latihan favoritku adalah rumah saudara Aji—yang ternyata adalah rumah Regina juga. Rumah itu menjadi tempat pertemuan kami, walau awalnya hanya sebatas ruang tamu dan sapaan singkat. Tapi bagiku, itu lebih dari cukup untuk menumbuhkan rindu yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Hari itu, aku dan Aji melatih anak-anak sampai malam. Usai latihan, kami masih menyempatkan mampir ke rumah Regina. Seperti biasa, aku disambut dengan wajah ramah sang nenek. Ada kelembutan pada tutur katanya. Ada ketulusan dalam sorot matanya. Entah mengapa, aku merasa nyaman setiap kali bertemu beliau. Seakan-akan, aku telah menemukan sosok keluarga yang sudah lama hilang dari hidupku. Malam itu, suasana rumah begitu sunyi. Aji kupinta membeli rokok. Nenek sedang menunaikan salat. Dan aku, sendirian, duduk di ambang pintu ruang tamu—setengah di dalam, setengah di luar. Entah mengapa aku merasa canggung jika harus duduk sendirian di ruang tamu mereka. Meskipun sudah sering ke sana, tetap saja itu rumah orang. Ada perasaan kikuk yang belum sepenuhnya hilang. Aku membuka ponsel, kukirim pesan padanya. Ia membalas singkat, memberitahu bahwa dia ada di kamar. Lalu aku mengetik panjang… memintanya, memohon dengan nada bercanda tapi serius agar ia mau keluar. “Aku cuma pengen lihat kamu sebentar,” ucapku dalam hati. “Jangan malu… aku kangen.” Dan saat aku nyaris putus asa, pintu kamarnya terbuka perlahan. Ia keluar. Regina. Dengan mata yang teduh, senyum tipis yang mengguncang hatiku, dan langkah malu-malu yang membuat segalanya terasa seperti adegan dalam mimpi. Ia mendekat perlahan dan... duduk di sampingku, di ambang pintu yang dingin dan sepi itu. Hatiku berdetak kencang. Rasanya tak percaya. Wanita yang dulu sempat aku salahpahami, kini duduk begitu dekat denganku. Ia tampak malu—tapi tetap datang, tetap memilih duduk di sampingku. Aku menatap wajahnya. Ia menunduk, matanya sesekali mencuri pandang ke arahku. Aku tak bisa berhenti menatap. Ada sesuatu yang menenangkan dalam wajahnya. Dalam diam, hatiku berkata, “Regina, kamu cantik sekali malam ini.” Tiba-tiba, tangannya terangkat, menyentuh pipiku pelan. Gerakannya cepat, seperti ingin menghindar dari tatapanku yang terlalu dalam. Ia tersenyum kecil, menunduk lebih dalam, lalu berbisik lirih, “Ngapain liat-liat…” Aku hanya bisa tertawa kecil, senyum-senyum sendiri seperti anak kecil yang baru saja diberi hadiah. Bahagia yang sederhana, tapi begitu nyata. Di ambang pintu rumah itu, di antara sepi dan desir angin malam, aku tahu satu hal pasti: wanita yang dulu hanya jadi cerita di layar ponsel, kini hadir di sampingku—dengan senyum yang akhirnya nyata. 

Bab 6 – Aroma yang Tertinggal di Ingatan

 Setelah duduk berdua cukup lama di ambang pintu rumah itu, kami masih terdiam. Tak satu pun kata keluar dari mulut kami. Mungkin karena malu, atau mungkin karena kami sama-sama sedang menjaga perasaan yang perlahan tumbuh—pelan tapi pasti. Malam semakin sunyi, tapi jantungku berdetak begitu kencang, seolah tubuh ini sedang menahan luapan rasa yang tak bisa dijelaskan. Tiba-tiba terdengar langkah pelan dari arah dalam rumah. Nenek Regina keluar dari kamar, selesai melaksanakan salat. Seketika, Regina bangkit dan pergi menjauhiku—seolah tak ingin kehadiran kami bersama tadi diketahui oleh neneknya. Ia duduk di pojok ruangan, menunduk pelan, seakan menutupi sesuatu yang tak ingin ditunjukkan. Tapi aku tahu, itu bukan ketakutan—melainkan malu yang manis. Aku tersenyum dalam hati. Entah kenapa, aku senang. Sangat senang. Bahkan saat neneknya mulai mengajakku berbicara, pikiranku melayang. Aku tak benar-benar mendengarkan. Mataku tetap mencari-cari sosok Regina yang kini duduk jauh dariku. Tapi bayangan saat ia duduk di sampingku masih tersisa di udara. Aromanya, wangi tubuhnya, begitu melekat. Masih terasa di sisi kanan tubuhku, seolah ia belum benar-benar beranjak pergi. Sekitar pukul sembilan malam, Aji kembali setelah membeli rokok. Suasana mulai ramai kembali, tapi hatiku justru mulai berat. Aku tahu, waktunya pulang. Tapi jujur, aku ingin waktu berhenti di malam itu. Aku ingin berlama-lama di rumah itu, di antara embusan angin yang menyimpan harum rambutnya, di antara tatapan matanya yang tersimpan rapi dalam memoriku. Tepat sebelum aku pergi, aku memberanikan diri menghampirinya. Dengan ragu, aku ulurkan tangan, mengajaknya bersalaman. Tangannya halus, hangat, dan... aku masih ingat jelas rasanya sampai sekarang. Tanggal 12 April 2019. Hari itu menjadi hari pertama aku menyentuh tangannya, hari di mana rasa ini mulai benar-benar tumbuh tanpa bisa lagi dibendung. Hari itu, kami sepakati—sebagai hari spesial dalam hidup kami berdua. Sesampainya di rumah, aku tak bisa tidur. Wajahnya, suaranya, tatapannya, bahkan aromanya... semua itu berputar-putar di kepalaku. Dalam hati, aku terus berkata:sembari ku menusil di pesan whast up "Aku nyaman denganmu, Regina." Dan saat kutuliskan itu padanya, ia membalas: "Aku juga merasa nyaman denganmu." Malam itu, aku merasa hidupku berubah. Kehadirannya seperti udara segar yang menyapu lelahku, seperti cahaya kecil yang tiba-tiba menuntun langkahku dalam gelap. Dan sejak itu, 12 April tak pernah sama lagi. Itu menjadi milik kami. 

Bab 7 – Rumah Baru Bernama Hati

 Seiring berjalannya waktu, obrolan demi obrolan membuat kami semakin dekat. Tidak ada momen yang terlalu besar, tidak pula kejutan yang mencolok, tapi semuanya mengalir pelan—seperti air yang perlahan-lahan mengisi ruang kosong dalam hati. Aku dan Regina memang tak pernah secara gamblang menyebut kata “pacaran,” tapi kami tahu, kami telah berkomitmen. Sebuah ikrar diam-diam: menjaga hati, menjaga mata, dan menjaga perasaan satu sama lain. Tiap malam, kami menghabiskan waktu bersama lewat layar kecil ponsel. Chat panjang yang kadang berakhir dengan tawa, kadang dengan rindu. Tak jarang pula kami saling menatap lewat video call sampai tertidur—melewati malam dengan wajahnya sebagai pengantar mimpi. Hari-hariku berubah. Hadirnya dalam hidupku membawa kebahagiaan yang tak bisa kusebutkan dengan kata sederhana. Ada semacam kelegaan, ada semacam pelengkap. Seperti lubang di hati yang selama ini tak kusadari, tiba-tiba saja terisi dengan ketenangan yang ia bawa. Sering kali aku datang ke rumahnya bersama Aji, yang tanpa sadar menjadi perantara pertemuan kami. Setiap kali aku menginjakkan kaki di rumah itu, rasanya seperti pulang ke rumah kedua. Hubunganku dengan neneknya pun semakin dekat. Perempuan tua yang lembut dan hangat itu seolah menjadi nenek kandungku sendiri. Ia menyambutku bukan sebagai tamu, tapi seperti cucunya yang lama pergi lalu pulang. Namun Regina... tetap saja Regina. Ia masih sering menjaga jarak ketika aku ada. Duduk jauh, atau bahkan memilih diam di kamar. Seolah masih ada ruang yang belum siap dibuka. Tapi aku tak marah. Aku tahu, rasa malu dan hati-hati itu adalah caranya menunjukkan bahwa ia menjagaku. Dan mungkin juga, ia sedang belajar menerima kehadiran orang baru dalam hidupnya. Suatu sore, aku duduk berdua dengan neneknya di ruang tamu. Entah kenapa, hari itu terasa berbeda. Angin pelan berembus lewat jendela, membawa aroma sore yang lembut. Kami mulai mengobrol. Lalu, perlahan, neneknya mulai bercerita—tentang Regina. Ternyata, banyak hal yang tak kuketahui tentangnya. “Dulu, dia anak yang pendiam,” kata neneknya pelan. “Pasif. Lebih sering di kamar. Jarang senyum, jarang bicara.” Aku diam, mendengarkan. Setiap kata neneknya seperti menjahit pengertian yang baru dalam diriku. “Tapi sejak kamu sering ke sini,” lanjutnya, “dia mulai berubah. Mulai sering keluar kamar. Mulai tertawa, mulai mau ngobrol. Terima kasih, Nak.” Aku terdiam. Hati rasanya terbalik. Haru yang datang tiba-tiba membuat dadaku sesak. Lalu neneknya bertanya, seperti menebak isi hatiku, “Kalian pacaran, ya?” Aku tersenyum kecil, menunduk. “Nggak, Nek... Tapi saya suka sama dia.” Neneknya tersenyum. Senyum yang terasa seperti restu. “Kalau kamu memang suka, jaga dia. Nenek percaya kamu anak baik.” Rasanya seperti langit terbuka. Hatiku mengembang, seolah mendapat izin untuk terus menyayanginya. Namun di balik semua kebahagiaan itu, ada tanya yang selama ini kupendam: di mana orang tuanya? Aku tak pernah melihat mereka. Maka aku bertanya. Neneknya menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menjelaskan bahwa ibu Regina bekerja jauh dari rumah, dan tak pulang dalam waktu lama. Ayahnya pun sama, sibuk bekerja di luar kota. Sejak kepergian kakaknya dan jarangnya bertemu kedua orang tuanya, Regina menjadi pribadi yang tertutup. Ia kehilangan tempat bersandar. Mendengar itu, air mataku tak bisa kutahan. Aku menangis di hadapan neneknya. Dan aku melihat, air mata beliau juga jatuh. Dalam diam, kami saling memahami luka yang tak selalu harus dijelaskan. “Nek,” ucapku pelan, penuh janji, “Sofyan janji... akan buat dia bahagia. Sofyan akan jaga dia.” Neneknya menatapku, dan untuk kesekian kalinya tersenyum. “Terima kasih, Nak. Itu cukup buat hati tua ini tenang.” Sejak saat itu, aku tak lagi mencintainya hanya karena rasa nyaman. Tapi karena aku merasa harus ada untuknya. Aku laki-laki yang bisa berdiri sendiri, tapi dia—dia wanita yang butuh sandaran. Dan aku ingin menjadi tempat itu. Tempat di mana ia bisa merasa aman. Tak lama, neneknya datang membawa semangkuk mie. “Makan dulu, Nak,” katanya. Aku mengangguk, menerima dengan penuh hormat. Tapi jujur saja, saat itu lidahku tak benar-benar mengecap rasa mie itu. Karena pikiranku masih dipenuhi satu nama: Regina. Aku ingin memeluknya, menenangkan kegelisahannya, dan menyentuh hatinya dengan kesetiaan. Aku ingin menjadi rumahnya—tempat ia pulang, kapan pun ia merasa sendiri. 

Bab 8 — Pelukan Pertama

 di Bawah Langit yang Redup Sejak malam itu, sejak obrolan panjang dengan neneknya, aku semakin yakin... aku tak bisa jauh dari Regina. Entah bagaimana, aku merasa kami adalah dua manusia yang saling menemukan dalam luka yang sama. Aku tahu rasanya ditinggalkan. Aku tahu bagaimana sepi bisa jadi begitu kejam ketika tak ada tempat bersandar. Aku tumbuh sebagai laki-laki yang dipaksa untuk kuat ketika ayah meninggalkan ibu. Tapi Regina... dia hanyalah seorang perempuan yang diam-diam butuh tempat berpulang. Dan aku ingin menjadi tempat itu. Tempat yang hangat. Tempat yang diam-diam ia rindukan, bahkan dalam diam sekalipun. Hari-hari kami semakin dekat. Aku mulai mengenal sisi-sisi kecil dari dirinya. Hal-hal sederhana yang entah kenapa begitu penting bagiku. Makanan kesukaannya. Lagu favorit yang selalu ia dengar saat hujan turun. Bahkan makanan yang tak ia sukai pun aku hafal, seolah aku tak ingin ada satu pun celah yang tak kuketahui darinya. Panggilan kami pun mulai berubah. Kadang aku memanggilnya beb, kadang sayang, tapi paling sering aku menggoda dengan sebutan bodo. Dan anehnya, sebutan itu malah menjadi panggilan yang paling melekat dan paling aku rindukan jika tak kudengar dalam sehari saja. Setiap malam, obrolan kami mengalir entah ke mana. Dari hal-hal kecil tak penting, hingga cerita masa lalu yang membuat hati sesak. Tapi semua itu membuat kami semakin dekat. Semakin menyatu. Seperti dua bintang yang saling menemani di langit gelap. Hingga malam itu tiba… Aku baru selesai melatih di tempat biasa, badan lelah tapi hati entah kenapa ingin ke rumahnya. Dan seperti biasa, aku mampir. Regina tak lagi canggung. Ia menyambutku seperti biasa. Duduk tak jauh, tapi masih menjaga jarak. Tapi entah keberanian apa yang merasuki malam itu. Mungkin karena hatiku sudah tak sanggup lagi menyimpan semuanya sendirian. Aku mengajaknya keluar sejenak. Ke samping rumahnya, di dekat garasi motor yang remang-remang. Di situ, hanya ada kami berdua dan malam yang sunyi. Angin pelan-pelan menggerakkan daun-daun di atas kepala kami, seperti saksi bisu akan keberanian yang akan kulakukan. Aku berdiri di depannya. Menatap wajahnya dalam diam. Ada getar di dadaku yang tak bisa kukendalikan. “Regina…” bisikku dalam hati. Aku sangat ingin memelukmu. Dan tanpa banyak kata, aku pelan-pelan meraih tubuhnya. Memeluknya erat. Seerat-eratnya. "Aku sayang kamu," ucapku dalam dekap itu. Dan… ia membalas pelukanku. Tangannya melingkar pelan di punggungku. Rasanya… dunia berhenti sesaat. Bahagia, haru, dan tenang bercampur menjadi satu. Aku mengecup pipinya perlahan. Ingin ia tahu, rasa ini nyata. Ia pun membalas dengan mencium pipiku. Sentuhan lembut bibirnya di pipi kananku… tak pernah hilang dari ingatanku. Bahkan hingga kini, aku masih bisa mengingat jelas aromanya, wangi tubuhnya yang hangat ketika aku memeluknya malam itu. Malam yang sederhana… Tapi untukku, itu malam yang paling sempurna. 

Bab 9 – Jalan Pertama

 Bersama Hari-hari setelah malam itu berjalan seperti mimpi yang enggan kuterbangunkan. Aku dan Bodo semakin intens. Setiap detik kami habiskan dalam percakapan yang tak habis-habisnya, seakan dunia hanya milik kami berdua. Tak ada status, memang. Tapi ada janji-janji diam yang kami genggam bersama: menjaga hati, menjaga mata, dan menjaga satu sama lain dari jarak dan keraguan. Suatu hari, di sebuah sore minggu yang hangat, aku mengajaknya jalan. Jujur, ada kekhawatiran di dadaku—takut ia menolak, takut ia tak siap. Tapi di luar dugaanku, dia menjawab, “Iya, tapi aku jemput kamu aja ya.” Bukan tanpa alasan. Dia bukan tipe perempuan yang biasa keluar berduaan dengan laki-laki. Apalagi jika dijemput langsung ke rumahnya, itu bisa jadi bahan pertanyaan besar bagi neneknya. Maka, kami sepakat bertemu di gang kecil di utara rumahku. Saat aku menunggu di ujung gang itu, kulihat dia datang dengan motornya sendiri, ragu tapi yakin. Sore itu, dia terlihat lebih dari cantik—dia terlihat berani. Aku yang mengemudi. Dia duduk di belakangku, tangannya melingkar di pinggangku dengan perlahan. Pelukannya sederhana, tapi cukup untuk membuat seluruh tubuhku bergetar pelan. Tak jauh tempat yang kami datangi—hanya keliling kecamatan, menyusuri desa, membeli camilan, menikmati angin, dan pada akhirnya berhenti di sebuah warung bakso. Bukan tempat yang mewah, bukan juga perjalanan yang panjang. Tapi saat itu aku merasa dunia berhenti hanya untuk kami. Setiap tawa yang pecah di antara obrolan ringan, setiap tatapan yang kucuri dari spion motor, semuanya seperti kenangan yang menolak pudar. Dia cantik, baik, dan hangat. Dan yang paling membuatku terenyuh adalah cara dia bersandar di punggungku, seperti seorang perempuan yang akhirnya menemukan tempat paling nyaman untuk beristirahat. Perjalanan hari itu terasa pendek, padahal kami menghabiskannya dari pukul delapan pagi hingga menjelang sore. Namun kenangan tentangnya begitu panjang, terus hidup di kepalaku. Kami bercerita banyak—tentang hal-hal lucu, tentang orang-orang aneh yang kami temui di jalan, hingga tentang mimpi dan masa lalu yang pelan-pelan mulai kami bagi satu sama lain. Aku tak pernah menyangka, hari pertama aku berjalan bersamanya bisa jadi seistimewa ini. Sejak saat itu aku tahu, bahwa aku tak hanya ingin menjaganya. Aku ingin menua bersamanya—melalui jalanan panjang kehidupan, berdua saja.

Komentar

Postingan Populer